BOSTON | NusantaraTop.co –
Aksi protes besar bertajuk “No Kings” yang digelar pada Sabtu di seluruh Amerika Serikat diperkirakan akan diikuti lebih dari 2.600 demonstrasi di 50 negara bagian. Namun, kelompok pegiat kebebasan sipil memperingatkan adanya potensi pengawasan besar-besaran (mass surveillance) oleh pemerintah federal terhadap para peserta aksi.
Para aktivis dan pemerhati privasi digital menyebut aparat dapat menggunakan berbagai teknologi pengawasan, mulai dari pengenalan wajah (facial recognition), penyadapan ponsel, cell-site simulator (peniru menara BTS), hingga drone militer.
Pengawasan Bisa Berbeda Tergantung Lokasi
Menurut Thorin Klosowski dari Electronic Frontier Foundation (EFF), tingkat pengawasan akan berbeda di setiap daerah.
Contohnya:
Washington D.C.: Area sekitar Gedung Putih telah dipasangi pagar pengaman dan diyakini memiliki pengawasan paling ketat.
Kota kecil atau wilayah pedesaan: Kemungkinan menggunakan teknologi lebih sederhana.
Teknologi yang Disebut Akan Digunakan: Facial recognition dengan database jutaan wajah.
Phone hacking tools dan cell-site simulators yang dapat mengakses data ponsel peserta aksi.
MQ-9 Predator drone – drone militer yang pernah digunakan mengawasi protes anti-ICE di Los Angeles.
Kamera definisi tinggi di banyak kota besar.
Pemantauan media sosial oleh beberapa lembaga federal.

Kekhawatiran Warga & Aktivis
Ryan Shapiro, Direktur Property of the People, menyebut pengawasan ini mengancam kebebasan berekspresi:
“Dengan sikap Trump yang keras terhadap kritik sekecil apa pun, pengawasan ini menjadi ancaman serius bagi demokrasi.”
Nate Wessler dari ACLU menilai, sulit membuktikan seseorang menjadi korban pengawasan ilegal karena sistem tersebut dirancang bekerja secara diam-diam.
Senator Ed Markey meminta pemerintah tidak menggunakan kekuatan negara untuk membungkam hak konstitusional warga.
Respons Pemerintah Trump
Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) mengatakan hanya akan “menegakkan hukum” dan menyebut demonstrasi boleh dilakukan selama tidak berujung kekerasan atau kerusuhan.
Namun, pemerintah tidak merinci teknologi apa yang akan digunakan untuk memantau massa aksi.
Stigma Terhadap Demonstran
Meskipun aksi pertama “No Kings” pada Juni lalu berlangsung damai, Presiden Donald Trump dan sekutunya kini menyebut para demonstran sebagai:
“Teroris”,
“Pendukung Hamas”,
“Kelompok kiri radikal”.
Pernyataan ini membuat sebagian peserta aksi merasa waspada terhadap kemungkinan pelabelan ekstremisme dan pengawasan digital.
Kesimpulan
Aksi “No Kings” bukan hanya menjadi simbol penolakan otoritarianisme di Amerika Serikat, tetapi juga membuka kembali perdebatan soal batas-batas pengawasan negara terhadap warganya.
Kelompok sipil menegaskan: protes adalah hak konstitusional, bukan alasan untuk memata-matai rakyat sendiri.
Editor: Redaksi NusantaraTop.co
Sumber: Reuters