SEI ungkap praktik monopoli dan impor terselubung di tubuh Pertamina Patra Niaga periode 2023–2025.
Jakarta | NusantaraTop.co – Di negeri kaya minyak ini, keadilan justru sering mati di tengah kilang dan tangki penyimpanan. Kedaulatan energi yang seharusnya menjadi cita-cita nasional justru berubah menjadi ilusi di balik jargon efisiensi dan stabilitas.
Di lapangan, pasar BBM Non-PSO terkunci rapat di bawah kendali satu tangan. Swasta dibatasi, jalur impor dipelintir, dan standar mutu dikorbankan atas nama “pengaturan distribusi”.
Organisasi pemantau energi Sentinel Energy Indonesia (SEI) menyoroti dugaan praktik monopoli, penyimpangan impor, dan distribusi BBM di bawah spesifikasi yang melibatkan jajaran Direksi Pertamina Patra Niaga (PPN), termasuk nama Mars Ega, Direktur Utama PPN yang disebut sebagai “pengendali skema” di balik sistem bermasalah itu.
“Yang kami lihat bukan sekadar kesalahan administratif. Ini sistem yang disusun rapi ada larangan, ada pemaksaan, dan ada bahan bakar di bawah standar yang tetap beredar di pasar nasional. Semua benangnya bermuara pada pucuk pimpinan Patra Niaga saat ini,” ujar Hexa Todo, Koordinator Nasional SEI, Jumat (17/10/2025).
Skema Mafia di Balik Jargon Efisiensi Energi
Menurut SEI, titik balik masalah bermula pada 2023, saat Mars Ega menjabat Direktur Pemasaran Regional PPN. Kala itu, ia melarang penjualan BBM Non-PSO kepada SPBU swasta, kebijakan yang otomatis menutup separuh ruang hidup bagi pelaku swasta di sektor energi.
Kebijakan ini memaksa SPBU non-Pertamina mencari jalan sendiri untuk impor, menghadapi birokrasi panjang dan biaya tinggi. Hasilnya: pasar terkunci, devisa terkuras, dan dominasi Pertamina Patra Niaga menguat.
“Begitu larangan diberlakukan, swasta kehilangan peran. Pasar dikunci, dan persaingan mati. BBM Non-PSO berubah menjadi arena tunggal di bawah kendali satu tangan,” kata Hexa.
Dua tahun kemudian, 2025, Kementerian ESDM justru memperkuat cengkeraman itu dengan mewajibkan SPBU swasta membeli BBM dari Patra Niaga setelah kuota impornya habis meski harga dan spesifikasi ditentukan sepihak.
“Ini bukan mekanisme pasar, ini pemaksaan kebijakan,” tegas Hexa.
Janji Transparansi yang Dikhianati
Dalam pertemuan 19 September 2025 di kantor Kementerian ESDM, Pertamina Patra Niaga dan pelaku swasta menyepakati bahwa BBM yang dijual harus sesuai spesifikasi dan dapat diinspeksi independen di pelabuhan asal.
Namun dua minggu kemudian, kesepakatan itu dilanggar. BBM dikirim tanpa inspeksi, dan laporan pelanggaran ke Komisi VII DPR RI pada 1 Oktober 2025 tidak dijawab langsung oleh Mars Ega yang tidak hadir dalam RDP.
“Ketidakhadirannya bukan karena jadwal, tapi karena ada kejahatan yang disembunyikan meski sudah jelas terlihat,” tutur Hexa Todo.
Rangkaian Fakta dan Dugaan yang Terbuka
SEI menyebut, pola monopoli dan penyimpangan ini bukan kasus tunggal, melainkan bagian dari jaringan kekuasaan energi yang lebih luas.
Beberapa fakta yang menguatkan temuan tersebut antara lain:
1. Konferensi pers Kejagung (10 Juli 2025) mengumumkan sembilan tersangka kasus korupsi BBM, termasuk Alvian Nasution dan Riza Chalid, pemilik manfaat PT Orbit Terminal Merak — nama-nama yang dikenal dekat dengan pejabat BUMN.
2. Temuan BPK menduga adanya penjualan solar industri di bawah harga subsidi oleh Nicke Widyawati, Mars Ega, dan Alvian Nasution ke perusahaan tambang Grup Adaro.
3. Formula harga Pertalite yang diusulkan Pertamina (99,21% dari MOPS RON 92) mengindikasikan campuran RON 88 dan RON 92, sehingga publik membeli “BBM kompromi” dengan harga penuh.
Pola yang Terbaca: Larangan – Pemaksaan – Pelanggaran
Dari hasil penelusuran SEI dan dokumen publik, teridentifikasi pola yang berulang:
1. Larangan menjual BBM Non-PSO ke swasta;
2. Pemaksaan pembelian dari Patra Niaga;
3. Pelanggaran spesifikasi dalam distribusi.
“Pertanyaannya sederhana: dari mana asal kargo BBM itu? Siapa yang menyetujui pengirimannya? Dan apakah Pertamina sadar bahwa BBM Non-PSO di bawah spesifikasi ini sudah lama beredar di pasar nasional?” ujar Hexa Todo dengan nada menahan geram.
Desakan SEI: Audit, Transparansi, dan Penegakan Hukum
SEI mendesak pemerintah dan aparat hukum segera mengambil langkah konkret.
Ada tiga tuntutan utama yang disampaikan:
1. Audit independen terhadap seluruh transaksi BBM Non-PSO Pertamina Patra Niaga periode 2023–2025.
2. Keterbukaan data impor dan izin jual-beli BBM Non-PSO oleh Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN.
3. Penyelidikan KPK dan Kejaksaan Agung atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan praktik impor BBM di bawah spesifikasi.
“Energi adalah nadi negara, bukan sumber rente bagi pejabat,” tegas Hexa Todo.
“Ketika pasar dikunci, mutu dikorbankan, dan hukum bungkam yang tersisa hanyalah kejahatan yang dilegalkan oleh kebijakan. Negara tidak boleh menutup mata.” (red)
📰 Editor: Pahotan MH