KesehatanNewsPendidikanTeknologi & Digital

Fenomena Baru: Dokter Kini Banyak Mendiagnosis ADHD pada Orang Dewasa

×

Fenomena Baru: Dokter Kini Banyak Mendiagnosis ADHD pada Orang Dewasa

Sebarkan artikel ini
Foto Ilustrasi: Anna Godeassi

Medan, NusantaraTop.co – Selama bertahun-tahun, gangguan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dianggap sebagai penyakit masa kanak-kanak yang akan hilang seiring bertambahnya usia. Namun kini, penelitian terbaru justru menunjukkan hal sebaliknya: semakin banyak orang dewasa yang didiagnosis mengalami ADHD, dengan gejala yang berbeda dari masa kecil.

Menurut data Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat, saat ini sekitar 15,5 juta orang dewasa di AS hidup dengan ADHD, dan sekitar setengahnya baru terdiagnosis setelah dewasa. Sebelumnya, gangguan ini lebih banyak dikaitkan dengan anak-anak, namun kini para ahli menyadari bahwa ADHD tidak serta-merta “hilang” ketika seseorang tumbuh dewasa.

“Jika anak-anak sulit duduk diam di kelas, maka orang dewasa mungkin tampak tidak sabar di lampu merah atau antrean supermarket,” jelas Jill RachBeisel, profesor psikologi di University of Maryland Medical Center.

Gejala khas seperti sulit fokus, impulsif, dan mudah gelisah tetap muncul, namun sering kali tersamarkan oleh kemampuan orang dewasa mengendalikan diri.

Craig Surman, psikiater di Massachusetts General Hospital, menjelaskan bahwa gejala hiperaktif biasanya menurun seiring bertambahnya usia, tetapi sifat mudah terdistraksi atau sulit berkonsentrasi sering bertahan seumur hidup.

Fenomena meningkatnya diagnosis ADHD pada orang dewasa ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan kesadaran dan akses terhadap pemeriksaan kesehatan mental. ADHD sendiri termasuk dalam kategori gangguan neurodevelopmental, artinya berkaitan dengan perkembangan otak dan faktor genetik, meskipun kondisi lingkungan juga berperan.

Namun, di era digital seperti sekarang, para peneliti juga menyoroti pengaruh teknologi dan penggunaan gawai berlebihan yang dapat memperburuk gejala atau menimbulkan kondisi mirip ADHD.

“Kita hidup dalam budaya yang mendorong multitasking dan stimulasi konstan dari layar,” kata John Ratey, psikiater dari Harvard Medical School. “Hal ini bisa membuat rentang perhatian semakin pendek.”

Meski begitu, para ahli menegaskan bahwa “ADHD akibat teknologi” belum diakui secara medis. Studi-studi menunjukkan hubungan antara penggunaan media sosial atau gim berlebihan dengan gejala ADHD, tetapi penyebab pastinya masih diperdebatkan.

Selain faktor lingkungan, perubahan hormon seperti menstruasi atau menopause juga dapat memicu gejala ADHD yang sebelumnya tersembunyi, terutama pada perempuan. Sayangnya, banyak perempuan yang tidak terdiagnosis dan malah diberi obat antidepresan atau antikecemasan.

“ADHD jarang datang sendirian,” kata Lidia Zylowska dari University of Minnesota. Gangguan ini sering kali muncul bersamaan dengan stres, depresi, gangguan tidur, atau masalah kesehatan lainnya seperti hipotiroid.

Para ahli menekankan pentingnya diagnosis yang tepat. “Langkah pertama adalah evaluasi menyeluruh oleh profesional,” kata Mark Stein dari University of Washington. Diagnosis dini dapat membantu pasien memahami akar permasalahan dan menjalani terapi yang sesuai.

Kabar baiknya, ADHD termasuk gangguan yang bisa diatasi dengan pengobatan dan terapi perilaku, seperti terapi kognitif atau penggunaan obat tertentu. Menurut Ratey, penderita ADHD justru sering memiliki kelebihan seperti kreativitas tinggi, antusiasme, rasa ingin tahu besar, dan fokus luar biasa pada hal yang diminati.

“ADHD bukan hanya tantangan,” ujarnya, “tetapi juga anugerah—jika seseorang mampu menemukan lingkungan yang tepat untuk mengoptimalkan potensinya.”

Sumber : National Geographic

Editor : Pahotan M Hutagalung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights