News

Thailand Tuduh Kamboja Gunakan Ranjau Darat di Perbatasan, Picu Ketegangan Diplomatik

×

Thailand Tuduh Kamboja Gunakan Ranjau Darat di Perbatasan, Picu Ketegangan Diplomatik

Sebarkan artikel ini
Sebuah perangkat GPS ditempatkan di dekat ranjau PMN-2 yang menurut pihak Thailand ditemukan di kawasan hutan perbatasan sengketa antara Thailand dan Kamboja di wilayah Chong Bok, setelah insiden pertama pada 16 Juli yang menyebabkan pergelangan kaki kiri seorang prajurit Thailand terputus saat patroli, di Provinsi Ubon Ratchathani, Thailand, 18 Juli 2025. (Foto: Royal Thai Army/Handout via REUTERS)

BANGKOK/PHNOM PENH, 16 Oktober 2025 | NusantaraTop.co

Insiden ledakan ranjau di wilayah perbatasan Thailand–Kamboja kembali memanaskan hubungan kedua negara. Seorang perwira muda Angkatan Darat Thailand, Letnan Dua Baramee Sricha, kehilangan pergelangan kaki setelah rekannya menginjak ranjau saat patroli di area sengketa pada 16 Juli 2025.

Peristiwa itu menjadi pemicu bentrokan bersenjata selama lima hari antara pasukan Thailand dan Kamboja, sebelum akhirnya dihentikan melalui gencatan senjata yang dimediasi oleh Amerika Serikat. Namun insiden tersebut juga membuka babak baru dalam sengketa diplomatik, terutama terkait tudingan penggunaan ranjau jenis PMN-2, ranjau anti-personel buatan Uni Soviet yang telah dilarang melalui perjanjian internasional.

Ranjau ranjau darat lama yang disebut oleh pihak Thailand telah diledakkan dan ditemukan kembali di dekat perbatasan sengketa antara Thailand dan Kamboja diperlihatkan saat kunjungan media yang diselenggarakan oleh Angkatan Darat Kerajaan Thailand setelah gencatan senjata antara Kamboja dan Thailand di Provinsi Surin Thailand 20 Agustus 2025<br >Foto REUTERSChalinee Thirasupa

Tuduhan dan Bantahan

Militer Thailand menuduh pasukan Kamboja menanam ranjau PMN-2 di sepanjang garis perbatasan. Menurut laporan resmi, sedikitnya enam prajurit Thailand telah menjadi korban sejak Juli lalu.

Kamboja membantah tudingan itu. Phnom Penh menyebut ledakan terjadi akibat sisa ranjau dari masa perang saudara yang melanda negaranya selama puluhan tahun, dan menegaskan tidak lagi menyimpan atau menggunakan ranjau aktif jenis tersebut.

Kamboja melalui Cambodia Mine Action and Victim Assistance Authority (CMAA) menegaskan bahwa hanya penyelidikan independen yang dapat memastikan penyebab ledakan. “Penampilan fisik ranjau saja tidak cukup membuktikan usianya,” ujar Wakil Presiden CMAA, Ly Thuch, kepada Reuters.

Temuan dan Penilaian Independen

Militer Thailand menunjukkan kepada Reuters rekaman dan foto operasi penjinakan ranjau yang dilakukan setelah insiden 16 Juli dan 23 Juli di kawasan perbatasan. Gambar-gambar itu disebut menunjukkan keberadaan ranjau PMN-2 dalam kondisi baru.

Empat pakar ranjau independen yang diminta menilai temuan tersebut menyebut ranjau dalam foto tampak baru dipasang, meski tidak dapat memastikan siapa yang menanamnya.
Pakar asal Inggris, Andrew Vian Smith, menilai kondisi fisik ranjau menunjukkan belum lama berada di tanah. “Ranjau lama biasanya getas, kusam, dan tertutup vegetasi. Yang terlihat di foto tidak menunjukkan tanda-tanda itu,” katanya.

Namun pihak CMAA menilai faktor alam seperti erosi, banjir, atau pergeseran tanah bisa membuat ranjau lama tampak baru.

Seorang anggota Thailand Mine Action Centre TMAC memperagakan peledakan ranjau PMN 2 saat kunjungan media yang diselenggarakan oleh Angkatan Darat Kerajaan Thailand setelah tercapainya gencatan senjata antara Kamboja dan Thailand di Provinsi Surin Thailand 20 Agustus 2025<br >Foto REUTERSChalinee Thirasupa

Konteks Historis dan Tekanan Diplomatik

Kamboja dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat kontaminasi ranjau tertinggi di dunia akibat perang saudara dan kekuasaan rezim Khmer Merah antara tahun 1970–1990-an. Sejak perjanjian damai 1991, negara itu bersama para donor internasional telah menghabiskan lebih dari US$1 miliar untuk operasi pembersihan ranjau.

Namun ranjau PMN-2 masih banyak ditemukan. CMAA mencatat sekitar 1.800 ranjau jenis ini telah dijinakkan sejak September 2023.

Melalui Konvensi Ottawa, negara penandatangan diwajibkan menghancurkan seluruh stok ranjau dalam waktu empat tahun setelah meratifikasi perjanjian. Thailand kini menekan Kamboja lewat mekanisme konvensi tersebut, serta meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres agar menindaklanjuti tudingan pelanggaran itu.

“Sekretaris Jenderal berharap Thailand dan Kamboja dapat mencapai resolusi secara kooperatif,” ujar juru bicara PBB, Farhan Haq.

Dampak Regional

Ketegangan Thailand–Kamboja terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran global terkait penggunaan ranjau anti-personel. Beberapa negara Eropa yang merasa terancam oleh Rusia dilaporkan tengah mempertimbangkan untuk keluar dari Konvensi Ottawa, bergabung dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok yang memang bukan penandatangan perjanjian tersebut.

Jika benar Kamboja kembali menggunakan ranjau, hal itu akan menjadi kemunduran serius bagi negara yang selama tiga dekade terakhir berupaya menjadi pelopor kampanye global anti-ranjau.

📰 Editor: Redaksi NusantaraTop.co
📍 Sumber: Reuters / Analisis Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights